Pengertian Tasawuf
Secara
bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah
ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan
akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang
abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal
duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi
mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan
dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari
beberapa tradisi[rujukan?]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada
abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia
(Wikipedia bahasa Indonesia).
Ada beberapa sumber perihal etimologi
dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf
(صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang
dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan
jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa
akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini
menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu
ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal
dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang
orang beranda"), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi
Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi,
mendedikasikan waktunya untuk berdoa (Wikipedia bahasa Indonesia).
Namun
dalam perjalananya, tasawuf diperdebatkan asal usul kehadiranya.
Sebagian menyebut tasawuf berasal dari agama islam, sebagian lagi
menyatakan bahwa tyasawuf bukan berasal dari islam tetapi dari
sinkretisme berbagai ajaran agama samawi maupun ardi. Beberpa pendapat
yang menyatakan tasawuf berasal dari islam diantaranya:
Asal-usul
ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk
bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim
awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian
menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai
menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995)
Seorang
penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan
Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan
Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan
yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar
pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani,
al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.]
Beberapa pendapat bahwa tasawuf bukan berasal dari islam diantaranya:
Sufisme
berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada
kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan
dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India
ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran
Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
(Sufisme)yaitu
ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di
Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul
di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt),
manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk
kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).
Al Quran pada permulaan
Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat
itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan
pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari
pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang
kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan
mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai
bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik
yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya
sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya
beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster
atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk
dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan
batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan
dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat
sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan
guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini
yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi,
Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan mempengaruhi aliran-aliran di
daam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).
Paham tasawuf terbentuk dari
dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang
Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang
Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham
mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun
tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain
dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah
orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980).
Tasawuf dan sufi
berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan
pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan
"Sufi". Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin
Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama
dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari
lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini
mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan
kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah
pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam, dan juga
dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan
Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa
ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma
Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal
Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc)
Para ahli yang menolak
tasawuf sebagai bagian dari islam mengambil contoh kesalahan pemahaman
tasawuf yaitu Faham Wujud. Faham wujud adalah berisi keyakinan bahwa
manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini
mengambil dalil Al Quran yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh
manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS:
“...Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku;
maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (As Shaad;
72)”
Sehingga ruh manusia dan Ruh Allah dapat dikatakan bersatu dalam
sholat karena sholat adalah me-mi'rajkan ruh manusia kepada Ruh Allah
Azza wa Jalla . Atas dasar pengaruh 'penyatuan' inilah maka kezuhudan
dalam sufi dianggap bukan sebagai kewajiban tetapi lebih kepada tuntutan
bathin karena hanya dengan meninggalkan/ tidak mementingkan dunia lah
kecintaan kepada Allah semakin meningkat yang akan bepengaruh kepada
'penyatuan' yang lebih mendalam.
Paham ini dikalangan penganut paham
kebatinan juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti yang
berarti bersatunya antara hamba dan Tuhan (Wikipedia bahasa Indonesia).
Dasar-Dasar Qur`ani Tasawuf
Para
pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan
kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian
besar dari kalangan sahabat dan tabi'in. Kezuhudan ini merupakan
implementasi dari nash-nash al-Qur'an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang
berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan
duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri,
bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap
rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain.
Meskipun terjadi perbedaan
makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi
berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan
akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam
al-Qur'an yang Artinya: “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di
akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang
menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari
keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.
(Q.S Asy-Syuura [42] : 20).
Diantara nash-nash al-Qur'an yang
mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk
akhirat adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20 yang
Artinya: “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah
antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian
menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu”.
Ayat ini menandaskan bahwa
kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari
amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga
mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya
kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam
berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang
dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan
banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal
tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya
seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya
keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan
yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang
menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.
Ayat
al-Qur'an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah
ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu'min untuk
senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata
serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan
segala urusan, ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan hal tersebut cukup
variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat
tersebut yaitu firman Allah dalam Q.S ath-Thalaq [65] ayat : 3 yang
Artinya: “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu”.
Dianatra ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi
landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat
yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap
kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam Q.S as-Sajadah [ ] ayat
: 16 yang berbunyi : yang Artinya: “Lambung mereka jauh dari tempat
tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut
dan harap
Maksud dari perkataan Allah Swt : "Lambung mereka jauh
dari tempat tidurnya" adalah bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya
orang tidur untuk mengerjakan shalat malam”.
Terdapat banyak ayat
yang berbicara tentang urgensi rasa takut dan pengharapan hanya kepada
Allah semata akan tetapi penulis cukupkan pada kedua ayat terdahulu.
Diantara
ayat-ayat yang menjadi landasan tasawuf adalah nash-nash Qura'ny yang
menganjurkan untuk beribadah pada malam hari baik dalam bentuk bertasbih
ataupun quyamullail diantaranya adalah firman Allah yang Artinya:
Dan
pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu
ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat
yang Terpuji.(Q.S al-Isra' [17] ayat : 79 yang Artinya: “Dan sebutlah
nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam,
Maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang
panjang dimalam hari”. (Q.S al-Insan [76] ayat : 25-26) yang Artinya:
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk
Tuhan mereka”
Tiga ayat di atas menunjukkan bahwa mereka yang
senantiasa menjauhi tempat tidur di malam hari dengan menyibukkan diri
dalam bertasbih dan menghidupkan malam-malamnya dengan shalat dan
ibadah-ibadah sunnah lainnya hanya semata-mata untuk mengharapkan
rahmat, ampunan, ridha, dan cinta Tuhannya kepadanya akan mendapatkan
maqam tertinggi di sisi Allah.
Selain daripada hal-hal yang telah
penulis uraikan sbelumnya, diantara pokok-pokok ajaran tasawuf adalah
mencintai Allah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan hal ini
berlandaskan kepada firman Allah swt dalam Q.S at-Taubah ayat : 24 yang
Artinya: ”Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu
sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari
berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
Keputusan-Nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik”.
Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap Allah,
Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya harus menjadi prioritas utama di
atas segala hal, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus
melebihi di atas kecintaan kepada ayah, ibu, anak, istri, keluarga,
harta, perniagaan dan segala hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata
lain bahwa seseorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia
dan mendambakan tempat terbaik diakhirat hendaknya menjadikan Allah dan
Rasul-Nya sebagai kecintaan tertinggi dalam dirinya
(ibnuel-mubhar.blogspot.com).
Perkembangan Tasawuf
Sejarah
tasawuf dimulai dengan Imam Ja’far Al Shadiq ibn Muhamad Bagir ibn Ali
Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Imam Ja’far juga
dianggap sebagai guru dari keempat imam Ahlulsunah yaitu Imam Abu
Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal.
Ucapan – ucapan Imam Ja’far
banyak disebutkan oleh para sufi seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al
Mishri, Jabir ibn Hayyan dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di kalangan
Ahlulsunah, Imam Maliki yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam
Ja’far.
Kaitan Imam Ja’far dengan tasawuf, terlihat dari silsilah
tarekat, seperti Naqsyabandiyah yang berujung pada Sayyidina Abubakar Al
Shidiq ataupun yang berujung pada Imam Ali selalu melewati Imam Ja’far.
Kakek
buyut Imam Ja’far, dikenal mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi.
Bahkan (meski sulit untuk dibenarkan) beberapa ahli menyebutkan Hasan Al
Bashri, sufi-zahid pertama sebagai murid Imam Ali. Sedangkan Ali Zainal
Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal dengan ungkapan-ungkapan cintanya
kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang berjudul “Al Shahifah Al
Sajadiyyah”.
Tasawuf lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin ilmu
sejak abad k-2 H, lewat pribadi Hasan Al Bashri, Sufyan Al Tsauri, Al
Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami. Tasawuf tidak pernah
bebas dari kritikan dari para ulama (ahli fiqh, hadis dll).
Praktik –
praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam
yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh
perintis yang disebutkan di atas.
Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap :
Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan tasawuf dimulai pada akhir abad ke-1H sampai kurang lebih abad ke-2H.
Gerakan
zuhud pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Basrah kemudian
menyebar ke Khurasan dan Mesir. Awalnya merupakan respon terhadap gaya
hidup mewah para pembesar negara akibat dari perolehan kekayaan melimpah
setelah Islam mengalami perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia
dan Persia.
Tokoh-tokohnya menurut tempat perkembangannya :
1. Madinah
Dari
kalangan sahabat Nabi Muhammad Saw, Abu Ubaidah Al Jarrah (w. 18 H);
Abu Dzar Al Ghiffari (W. 22 H); Salman Al Farisi (W.32 H); Abdullah ibn
Mas’ud (w. 33 H); sedangkan dari kalangan satu genarasi setelah masa
Nabi (Tabi’în) diantaranya, Said ibn Musayyab (w. 91 H); dan Salim ibn
Abdullah (w. 106 H).
2. Basrah
Hasan Al Bashri (w. 110 H); Malik
ibn Dinar (w. 131 H); Fadhl Al Raqqasyi, Kahmas ibn Al Hadan Al Qais (w.
149 H); Shalih Al Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H)
3. Kufah
Al
Rabi ibn Khasim (w. 96 H); Said ibn Jubair (w. 96 H); Thawus ibn Kisan
(w. 106 H); Sufyan Al Tsauri (w.161 H); Al Laits ibn Said (w. 175 H);
Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H).
4. Mesir
Salim ibn Attar Al Tajibi (W. 75H); Abdurrahman Al Hujairah ( w. 83 H); Nafi, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 171 H).
Pada
masa-masa terakhir tahap ini, muncul tokoh-tokoh yang dikenal sebagai
sufi sejati, diantaranya, Ibrahim ibn Adham (w. 161 H); Fudhail ibn
Iyadh (w. 187 H); Dawud Al Tha’i (w. 165 H) dan Rabi’ah Al Adawiyyah.
Tahap Tasawuf (abad ke 3 dan 4 H )
Paruh
pertama pada abad ke-3 H, wacana tentang Zuhud digantikan dengan
tasawuf. Ajaran para sufi tidak lagi terbatas pada amaliyah (aspek
praktis), berupa penanaman akhlak, tetapi sudah masuk ke aspek teoritis
(nazhari) dengan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang
sebelumnya tidak dikenal seperti, maqam, hâl, ma’rifah, tauhid (dalam
makna tasawuf yang khas); fana, hulul dan lain- lain.
Tokoh-tokohnya,
Ma’ruf Al Kharkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul
Nun Al Mishri (w. 254 H) dan Junaid Al Baghdadi.
Muncul pula
karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoritis, termasuk karya
Al Harits ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H); Abu Said Al Kharraz (w. 279
H); Al Hakim Al Tirmidzi (w. 285 H) dan Junaid Al Baghdadi (w. 294 H)
Pada
masa tahap tasawuf, muncul para sufi yang mempromosikan tasawuf yang
berorientasi pada “kemabukan” (sukr), antara lain Al Hallaj dan Ba Yazid
Al Busthami, yang bercirikan pada ungkapan – ungkapam ganjil yang
sering kali sulit untuk dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum
kaum muslim, seperti “Akulah kebenaran” (Ana Al Haqq) atau “Tak ada
apapun dalam jubah-yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ fill
jubbah illâ Allâh), kalau di Indonesia dikenal dengan Syekh Siti Jenar
dengan ungkapannya “Tiada Tuhan selain Aku”.
Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)
Pada
tahap ini, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian
pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi
merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya.
Sebagian ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami
dalam aliran ini.
Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân
(Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau
gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
Tahap Tarekat ( Abad ke-7 H dan seterusnya )
Meskipun
tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti tarekat
Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Al Qasim Al Juanid Al Baghdadi (w.
297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ibn Muhammad Nuri (w.
295 H), baru pada masa-masa ini tarekat berkembang dengan pesat.
Seperti
tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H)
dari Jilan (Wilayah Iran sekarang); Tarekat Rifa’iyyah didirikan oleh
Ahmad Rifai (w. 578 H) dan tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh
Abu Najib Al Suhrawardi (w. 563 H). Tarekat Naqsabandiyah yang memiliki
pengikut paling luas, tarekat ini sekarang telah memiliki banyak variasi
, pada mulanya didirikan di Bukhara oleh Muhammad Bahauddin Al Uwaisi
Al Bukhari Naqsyabandi
Pengertian Tasawuf secara Bahasa dan Istilah
Penulis : asd on Monday, 9 June 2014 | 06:55
Related posts:
- Cara Mengganti Password Facebook
- Cara Daftar Account Gmail Dengan Mudah
- Cara Memasang Code Popads Di Blogger
- Cara Membuat Link Blog Open Link New Tab Sendiri (Otomatis)
- Robohnya Bani Umayyah Di Andalusia
- Kisah Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW Dan Pengertiannya
- Pengertian Tasawuf secara Bahasa dan Istilah
- Biografi Imam Bonjol (sejarah singkat )
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment